Belakangan ini sedang ramai soal ISIS. Di media banyak kita jumpai berita yang membahas ISIS, baik gerakan penolakan terhadap ISIS maupun informasi apa dan siapa itu ISIS serta bagaimana pergerakannya. Setiap mendengar kata ISIS, pikiran kita akan langsung merujuk pada 2 kata “Islamic State” atau “Negara Islam”. Meskipun tanpa kita tahu apa dan bagaimana sesungguhnya Negara Islam itu.
Berbicara negara Islam, sadar atau tidak di dalam benak kita akan terbersit sebuah pertanyaan, “Apakah Indonesia negara Islam?”. Tentunya banyak yang menjawab “bukan negara Islam”. Namun tak sedikit juga yang mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan pada Pancasila dan Pancasila tidak bertentangan dengan Islam. Bahkan ada pula sebagian kelompok yang memandang bahwa Indonesia adalah negara kafir, pemerintah Indonesia adalah toghut.
Berikut ada sebuah pertanyaan dan jawaban yang menarik menurut saya pribadi. Masih seputar apakah Indonesia negara kafir. Menjadi menarik bagi saya karena barangkali ini bisa menjadi sebuah jawaban atas keresahan kita seputar negara Islam selama ini. Selamat membaca!
Benarkah Indonesia Negara Kafir Yang Harus Diperangi?
Ustadz, benarkah negara kita negara kafir (meskipun warganya masyoritas muslim)karena tidak menggunakan hukum islam? Sebagaimana orang katakan, kalau benar negara kita kafir mengapa yang mengatakan negara Indonesia kafir masih hidup di Indonesia dan makan minum produk orang kafir juga?
Mohon penjelasan, karena saya bingung dengan ilmu saya yang sedikit untuk memahaminya.
Jawaban :
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Apakah Indonesia ini negara kafir atau bukan, sebenarnya merupakan perdebatan panjang yang tidak ada habisnya.
Mengapa demikian?
Sebab sejak menetapkan kriteria negara Islam, para ulama sudah berbeda pendapat. Apakah suatu negeri pantas disebut sebagai negara Islam atau tidak, rupanya tidak ada batasan yang disepakati bersama.
Setidaknya kalau kita lihat perbedaan kriteria negara Islam dan contoh-contohnya di dunia ini, kita bisa membaginya menjadi empat macam kriteria :
1. Berpenduduk Mayoritas Muslim
Sebagian berpendapat bahwa apabila suatu negeri dihuni oleh mayoritas penduduk yang beragama Islam, otomatis pantas disebut dengan negara Islam. Bahwa di negeri itu diterapkan hukum syariat atau tidak, dalam arti hukum hudud dan jinayat, itu lain urusan.
Kalau batasannya seperti ini, maka kita bisa menyebut bahwa Indonesia termasuk negara Islam. Bahkan posisinya nomor satu, karena Indonesia adalah negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia. Jumlahnya mencapai 200 juta lebih. Tidak ada di dunia ini negara yang punya penduduk muslim sampai 200 juta.
Menurut estimasi tepatnya berjumlah 202.867.000 jiwa, 88,2% dari seluruh penduduk negeri ini, atau 12,9% dari populasi muslim dunia. Itu berarti dari seluruh umat Islam di permukaan planet bumi, 1/8 dari mereka adalah bangsa Indonesia. Seandainya seluruh penduduk di negeri Arab sana memutuskan untuk melebur negara mereka menjadi satu negara, belum tentu jumlah penduduknya akan menyamai penduduk muslim di Indonesia.
Di belakang Indonesia ada India. Walaupun persentase penduduk muslimnya hanya 13,4 %, tapi jumlahnya ketiga terbesar dunia, yaitu 160.945.000 jiwa, atau 10,3% dari jumlah Muslim dunia. Seandainya muslim India tidak memisahkan diri menjadi negara tersendiri, yaitu Pakistan, seharusnya India dan Pakistan berpenduduk muslim kurang lebih 33 juta jiwa, menjadi penduduk muslim terbesar di dunia.
Urutan berikutnya adalah Bangladesh, Mesir, Nigeria, Iran, Turki dan seterusnya. Arab Saudi sendiri malah tidak masuk hitungan, kalau kriterianya seperti ini.
2. Negeri Dengan Syiar Islam Yang Dzhahir
Sebagian lagi berpendapat bahwa batas suatu negara dikatakan Islam adalah apabila syiar-syiar Islam berjalan secara lahiriyah. Syiar-syiar itu misalnya adanya shalat berjamaah, berkumandangnya adzan dan iqamah, dikenakannya jilbab oleh para wanita, berjalannya syariat zakat, haji, puasa Ramadhan, shalat Jumat dan seterusnya. Bahkan bisa saja negara itu punya asesori atau lambang-lambang keislaman secara resmi.
Kalau batasannya seperti ini, maka yang termasuk di dalamnya antara lain Somalia, Libya dan juga Indonesia.
a. Somalia
Republik Somalia di Afrika. Negara itu punya motto yang unik, yaitu lafadz Laa Ilaah Illallah Muhammad Rasulullah. Ini bukan moto ormas atau pengajian, melainkan moto sebuah negara secara resmi yang nyaris hampir semua penduduknya muslim.
b. Libya
Selain itu kita juga mengenal Libya yang asalnya bagian dari khilafah Turki Utsmani, lalu dicaplok oleh tentara Italia dan kemudian memerdekakan diri. Yang menarik, ternyata judul lagu kebangsaan resmi Libya adalah : Allahu Akbar.
c. Indonesia
Para founding father negara Indonesia di dalam pembukaan Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, menyebutkan bahwa kemerdekaan negara Indonesia adalah berkat rahmat Allah Negara Yang Berdasarkan Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa Dengan Kewajiban Menjalankan Syariat Islam Bagi Para Pemeluknya.
Meski pun tujuh kata pada sila pertama dari Piagam Jakarta ini kemudian dihapus atas ultimatum kalangan non muslim di wilayah bagian timur, namun mengalahnya para founding father pada 18 Agustus 1945 lebih karena menjaga keutuhan integritas bangsa yang nyaris terkoyak.
Tetapi yang menjadi pertanyaan besar adalah : apakah sebuah negara bisa disebut sebagai negara Islam, hanya dengan mencantumkan hal-hal yang berbau keislaman, baik dalam moto, lagu kebangsaan atau pun juga dalam pembukaan UUD-nya?
3. Menyatakan Secara Formal Berlakunya Hukum Islam
Sebagian lagi berpendapat bahwa batasan hukum Islam itu adalah apabila di suatu negeri menyatakan berlakunya hukum Islam secara formal. Kalau kriterianya seperti ini, maka di dunia ini cuma ada dua negara Islam, yaitu Kerajaan Saudi Arabia dan Malaysia.
a. Kerajaan Saudi Arabia.
Bentuk negara ini adalah monarki mutlak Islam, hukum-hukum yang berlaku adalah hukum Islam. Bahkan negara ini memberlakukan hukum jinayat dalam arti sesungguhnya, seperti merajam pezina, memotong tangan pencuri, mencambuk peminum khamar dan juga menjalankan hukum qishash dalam urusan pembunuhan atau melukai orang lain.
Tentang bagaimana penerapannya, tentu akan ada banyak versi penilaian yang berbeda. Tetapi setidaknya, Saudi Arabia secara tegas menyebutkan bahwa negara mereka menerapkan hukum Islam.
b. Malaysia
Negara tetangga kita, Malaysia, ternyata diam-diam mencantumkan Islam sebagai hukum resmi yang berlaku. Tetapi istilah diam-diam rasanya kurang tepat, mungkin yang lebih tepat, tanpa kita sadari. Sebab memang secara resmi negara itu menetapkan bahwa hukum yang berlaku adalah hukum Islam.
Tetapi bagaimana aplikasi dan penerapannya, tentu akan ada banyak versi penilaian. Tetapi kalau dibandingkan dengan Indonesia, jelas berbeda.
4. Negara Dengan Nama Resmi Negara Islam
Versi yang keempat dari batasan negara Islam adalah apabila negara itu mencantumkan kata Islam dalam nama resmi negara. Memang banyak negara di dunia ini yang secara formal telah mengklaim diri sebagai negara Islam, baik kata ‘Islam’ itu dijadikan bagian dari nama resmi negara itu, atau pun hanya disebutkan sebagai hukum yang resmi berlaku.
Di antaranya adalah Iran, Afghanistan, Pakistan dan Brunai Darussalam.
a. Republik Islam Iran
Negara itu secara resmi menambahkan kata ‘Islam’ di dalam nama resmi negara itu. Dalam bahasa Inggris, nama negara itu adalah Islamic Republic of Iran.
b. Republik Islam Pakistan
Negara lain yang secara resmi menyebut diri sebagai negara Islam adalah Pakistan. Nama resmi negara hasil pecahan dari India yang merdeka pada tahun 1947 itu adalah Republik Islam Pakistan.
Berdirinya Republik Islam Pakistan tidak lepas dari peran seorang pengacara muslim Muhammad Ali Jinnah. Pada awalnya, berdirinya Pakistan merupakan problem tersendiri, terutama dalam mencari alasan atau raison d’etre Pakistan merdeka. Apakah the founding fathers Pakistan bermaksud mendirikan Negara Islam atau tengah berupaya membangun tanah air bagi orang Islam? Lebih dari itu, apakah kekhawatiran sebagai warga minoritas di India yang mayoritas Hindu dapat dijadikan alasan berdirinya Pakistan merdeka.
Berbagai teori telah dimunculkan tentang alasan-alasan pokok berdirinya Pakistan sebagai sebuah negara dengan identitas Islam.
c. Afghanistan
Sepeninggal Uni Sovyet, bangsa Afghanistan memproklamirkan diri dan menyatakan kemerdekaan mereka, serta menamai negara mereka dengan nama resmi Republik Islam Afghanistan.
d. Brunai Darussalam
Sedangkan tetangga kita, Negara Brunei Darussalam, meski tidak mencantumkan kata ‘Islam” sebagai nama resmi, namun kata ‘darussalam’ di dalam istilah fiqih tidak lain bermakna negara Islam, sebagai lawan dari istilah darul-kufri (negara kafir).
Yang menjadi pertanyaan, apakah sebuah negara sudah bisa dianggap sebagai negara Islam, hanya dengan menambahkan embel-embel kata Islam di dalam nama resmi negara itu?
Perdebatan Belum Selesai
Kalau pun Indonesia mau dibilang negara kafir, karena tidak menerapkan syariat Islam, maka yang pertama kali harus dikatakan negara kafir justru negara Madinah Al-Munawwarah di masa Rasulullah SAW.
Lho kok begitu?
Ya, karena Madinah di masa Rasulullah SAW tidak sepenuhnya menjalankan syariat Islam. Saat itu selain hukum Islam, juga berlaku hukum yahudi dan juga hukum-hukum lainnya. Bahkan penduduk Madinah saat itu juga bukan sepenuhnya muslim. Sebagian ada yang yahudi, ada yang penyembah berhala, bahkan ada juga yang memeluk agama majusi dan agama-agama lainnya.
Hukum syariat hanya diberlakukan buat sebagian masyarakat saja, yaitu umat Islam. Sedangkan buat pemeluk agama lain, yang diberlakukan adalah hukum-hukum yang sesuai dengan agama mereka. Dan saat itu Rasulullah SAW sendiri yang bertindak sebagai kepala negara. Beliau SAW malah menjamin agar penduduk Yahudi Madinah untuk berhukum dengan hukum Taurat.
Jadi kalau ukuran sebuah negara dikatakan sebagai negara Islam adalah pada masalah hukum apa yang berlaku, maka sebenarnya Madinah malah bukan termasuk negara Islam. Karena hukum yang berlaku bukan hanya hukum Islam. Dan penduduknya juga banyak yang bukan beragama Islam.
Sebagian Hukum Syariat Berlaku di Indonesia
Sebenarnya agak kurang tepat kalau dikatakan bahwa hukum yang berlaku di Indonesia sepenuhnya bukan syariat Islam. Beberapa hukum syariat sebenarnya sudah berlaku di negeri kita. Bahkan kita punya Pengadilan Agama, dimana hukum yang dipakai adalah hukum syariat.
Memang Indonesia tidak menerapkan hukum hudud, qishash dan jinayat. Benar bahwa kita tidak menemukan adanya hukum potong tangan buat pencuri, juga tidak ada hukum rajam dan cambuk buat pezina, juga tidak ada hukum cambuk 40 atau 80 kali buat peminum khamar.
Tetapi kalau tiba-tiba dikatakan bahwa Indonesia adalah negara kafir, tentu tidak terlalu tepat. Sebab nyatanya bangsa Indonesia masih menerapkan begitu banyak hukum Islam. Apalagi bila kita memahami hukum syariat bukan hanya sebatas hudud dan jinayat saja.
Bukankah menikah, talak, rujuk, hukum waris, bahkan shalat berjamaah, puasa, zakat, haji dan jilbab itu juga bagian dari syariat Islam? Bukankah semua itu masih ada dan masih eksis di negeri kita? Lalu apakah hanya gara-gara kita tidak menerapkan hukum hudud dan jinayat, lantas kita berhak memberi predikat kepada Indonesia sebagai negara kafir?
Yang agak sedikit mendekati kebenaran adalah bahwa negara kita ini adalah negara Islam, namun belum atau tidak sepenuhnya menerapkan detail hukum hudud dan jinayat. Sementara dilihat dari sisi komposisi penduduk, Indonesia justru merupakan negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia.
Mengapa Tidak Semua Hukum Syariat Berjalan?
Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah kenapa tidak seluruh detail hukum syariat berlaku di Indonesia? Kenapa hukum Islam hanya dijalankan sepotong-sepotong? Apa yang menjadi penyebab? Dan apa tugas kita sekarang ini untuk bisa mengembalikan tegaknya syariat Islam?
1. Penyebab
Ada dua macam penyebab, kenapa syariat Islam tidak sepenuhnya berlaku di negeri kita.
a. Penyebab Pertama : Penjajahan
Sejak pertama kali masuk ke nusantara, ajaran Islam sudah dijalankan oleh anak-anak negeri. Perlahan tapi pasti, kemudian Islam bukan hanya sekedar menjadi ritual ibadah, tetapi kurang lebih 5 abad kemudian atau tepatnya pada abad 13 menjadi pemerintahan Islam, alias negara Islam 100%.
Sriwijaya, Demak bahkan Kerajaan Jawa Mataram Islam adalah contoh yang bisa dengan mudah kita sebutkan, sebagai negara secara resmi menerapkan hukum hudud, seperti potong tangan, rajam dan sebagainya. Maka negara Islam itu berlangsung selama beberapa abad.
Sehingga kemudian datanglah para penjajah Kristen dari Eropa. Maka sejak lebih dari 400 tahun yang lalu merupakan negara yang dijajah oleh banyak negara. Khususnya ketika Belanda menjajah selama 350 tahun, nyaris hampir seluruh sekolah dan kurikulum pendidikan didirikan oleh Belanda. Isi kurikulumnya jelas-jelas mengajarkan hukum Belanda dan membuang jauh-jauh pelajaran dan mata kuliah hukum Islam.
Parahnya, ketika Belanda sudah pulang kampung dan bangsa ini mendapatkan kemerdekaannya, sekolah dan perguruan tinggi tetap saja mengajarkan hukum Belanda. Hukum Islam hanya diajarkan di madrasah dan pesantren, yang juga tidak diminati oleh para santrinya sendiri.
b. Penyebab Kedua : Kebodohan (jahil)
Penyebab kedua diakibatkan dari penyebab pertama, yaitu karena hukum Islam tidak diajarkan, maka lahirnya berlapis-lapis generasi yang agamanya masih Islam, masih suka shalat ke masjid, suka puasa, suka haji, bahkan bolak balik ke tanah suci tiap tahun. Tetapi mereka buta dengan ilmu tentang hukum Islam.
Kenapa buta?
Karena mereka tidak pernah mendapatkan akses untuk belajar hukum Islam. Sekolah dan kampus tidak mengajarkan, padahal sekolah dan kampus itu milik umat Islam. Lebih parah lagi, majelis taklim dan pengajian pun juga tidak pernah mengajarkan. Apalagi media massa, jelas sama sekali tidak.
Akibatnya, kalau sampai lahir generasi Islam yang anti hukum Islam, bahkan sampai membenci, alergi, antipati, padahal lahir dari keluarga muslim yang dijuluki ‘muslim taat’, kita sudah tahu sumber masalahnya.
Tanpa mengecilkan peran dan kedudukan mereka, kita ragu-ragu apakah ratusan ribu jamaah haji Indonesia yang tiap tahun beribadah ke tanah suci, mereka mengerti dengan hukum Islam? Pertanyaan bukan mengecilkan peran dan posisi mereka, tetapi sebagai sebuah bahan renungan saja.
Apakah beratus ribu mahasiswa Universitas Islam Negeri, yang kampusnya tersebar di berbagai pelosok republik ini, mengerti dengan detail syariat dan hukum Islam?
Apakah para ustadz, kiyai, penceramah, da’i sejuta umat, yang punya nama besar dan kesohor itu, mengajarkan hukum syariah kepada jamaah mereka, di dalam majelis taklim dan pengajian mereka? Lebih jauh lagi, apa kita yakin bahwa para tokoh itu juga pernah belajar ilmu syariah dan hukum Islam?
2. Tugas Kita
Kalau kita sudah tahu duduk persoalannya, maka yang perlu kita pikirkan sekarang bukan meributkan apakah Indonesia ini negara Islam atau bukan. Bukan waktunya lagi memperdebatkan hal itu.
Juga bukan saatnya lagi kita hanya meributkan formalitas hukum Islam di tingkat legilatif, agar secara formal dan dipermukaan kita bisa disebut negara yang menerapkan hukum Islam. Perjuangan untuk menegakkan syariat Islam bukan di level formalitas, sebab berapa banyak negara yang secara formalnya jelas-jelas menyebut negara mereka sebagai negara Islam, atau bersimbol Islam, atau bernama resmi Islam, tetapi rakyatnya tetap saja tidak menerapkan hukum Islam.
Kenapa?
Karena ternyata sumber masalahnya belum dibereskan. Apa sumber masalahnya?
Sumber masalahnya adalah kejahilan umat ini atas hukum syariat mereka sendiri. Al-Islamu mahjubun bil muslimin, cahaya Islam itu tertutupi oleh kabut gelap kebodohan umat Islam sendiri.
Jadi mari kita langsung pada praktek saja, yaitu mari kita populerkan dan ajarkan Ilmu Syariah. Caranya tentu dengan belajar ilmu syariah terlebih dahulu, baik di pengajian, di rumah, di panggung ceramah, termasuk juga di dalam kurikulum sekolah dan kampus. Tetapi bukan dengan meributkan kurikulumnya, nanti akan jadi proyek lagi.
Yang termudah untuk bisa kita lakukan adalah dengan mendidik para guru di sekolah dan para dosen di kampus-kampus, agar mereka melek dan mengerti syariah Islam. Meski bidang studi mereka berbeda-beda, asalkan gurunya paham dan mengerti ilmu syariah, serta mempraktekkannya dalam kehidupan nyata, pasti murid-muridnya akan mengikuti.
Polisi dan tentara, asalkan beragama Islam, tentu wajib atas mereka belajar ilmu syariah. Politisi dan para menteri, asalkan muslim, tentu merupakan fardhu ‘ain untuk belajar syariah. Sopir angkot, taksi, metromini dan Kopaja, juga wajib belajar ilmu syariah. Bahkan 4,7 juta PNS yang banyak menghabiskan uang negara untuk gajian bulanan itu, seharusnya wajib belajar ilmu tentang syariat Islam.
Jangan lupa, televisi, radio, koran, majalah, tabloid dan buku, seharusnya juga digunakan untuk memasyarakatkan ilmu syariah. Termasuk juga internet dengan website dan jejaring sosial, seharusnya dimanfaatkan sedemikian rupa untuk mengajarkan detail-detail syariah.
Pendeknya, akses publik terhadap ilmu syariah harus dibuka selebar-lebarnya, jangan sampai ilmu syariah itu hanya terlipat di balik kitab tebal para ulama saja. Dimana kitab itu teronggok berdebu di perpustakaan yang tidak pernah dikunjungi orang.
Tugas yang berat berikutnya adalah menyiapkan generasi baru yang nantinya mereka melek Syariah.
Wallahua’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ahmad Sarwat, Lc., MA
Sumber : Rumah Fiqih Indonesia
saya jadi bingung, tapi yang namanya artikel perlu dipertimbangkan dan direnungkan….